PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
KONSEP
DASAR PPH PASAL 21
Pajak penghasilan pasal 21 adalah pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain yang
diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan.
Pemotong PPh pasal 21 antara lain:
a.
Pemberi kerja
yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang,
perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran
lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan
ekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.
b.
Bendahara atau
pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada pemerintah
pusat termask institusi TNI/POLRI, pemerintah daerah, instansi atau lembaga
pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik
Indonesia di luar negeri yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa dan kegiatan.
c.
Dana pensiun,
badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang
membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
d.
Orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta bandan yang membayar:
·
Honorarium
atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan atau kegiatan
yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek pajak dalam negeri,
termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan kerjaan bebas dan betindak untuk dan
atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
·
Honorarium
atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang
dilakukan oleh orang probadi dengan status subjek pajak luar negeri.
·
Honorarium
atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan dan magang.
e.
Penyelenggaraan
kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan
internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun
kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
Hak
Pemotong PPh Pasal 21
Dalam hal suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak
atas PPh pasal 21 yang terutang, oleh pemotong PPh pasal 21, kelebihan
penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh pasal 21 yang terutang pada
bulan berikutnya melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21.
Kewajiban
Pemotong PPh Pasal 21
a.
Kewajiban pemotong
PPh pasal 21
·
Pemotong PPh
pasal 21 dan penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 wajib mendaftarkan
diri ke kantor pelayanan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
·
Pemotong PPh
pasal 21 wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh pasal 21
yang terutang untuk setiap bulan kalender. Ketentuan mengenai kewajiban untuk
melaporkan pemotongan PPh pasal 21 untuk setiap bulan kalender tetap berlaku,
dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
b.
Kewajiban membuat
bukti potong
·
Pemotong PPh
pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan PPh pasal 21 atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh pegawai tetap atau pegawai pensiun berkala paling lama
1 (satu) bulan setelah tahun kalender
berakhir. Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember,
bukti pemotong PPh pasal 21 harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah
yang bersangkutan berhenti bekerja.
·
Pemotong PPh
pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan PPh pasal 21 atas pemotong PPh pasal
21 selain pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, serta bukti pemotongan
PPh pasal 26 setiap kali melakukan pemotongan PPh pasal 21.
·
Dalam hal
dalam 1 (satu) bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan dilakukan lebih
dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan PPh pasal 21 dapat
dibuat sekali untuk 1 (satu) bulan kalender.
c.
Kewajiban
menyetor dan melaporkan
·
PPh pasal 21
yang dipotong oleh pemotong PPh pasal 21 dan atau PPh pasal 26 untuk setiap
Masa Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10 (sepuluh)
hari setelah Masa Pajak berakhir.
·
Pemotong PPh
pasal 21 wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh pasal 21 untuk setiap
Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPh
pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong PPh pasal 21 terdaftar,
paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
·
Dalam hal
jatuh tempo penyetoran PPh pasal 21 dan batas waktu pelaporan PPh pasal 21
bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
Kewajiban
Pajak Subjektif
Kewajiban yang melekat pada subjektif yang
prinsipnya semua orang yang bertempat tinggal di Indonesia memenuhi kewajiban
pajak subjektif. Untuk orang atau badan yang tidak bertempat tinggal, tidak
didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia mempunyai kewajiban pajak
subjektif jika mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia.
Mulai
dan Akhir Kewajiban Pajak Subjektif
Undang-undang pajak penghasilan memberikan tempat di
Pasal 2A yang khusus mengatur kapan mulai dan berakhirnya kewajiban pajak
subjektif. Selengkapnya, saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif
ini adalah sebagai berikut:
a.
Untuk subjek
pajak orang pribadi dalam negeri
Dimulai pada saat orang
pribadi tersebut dilahirkan, beradam atau berniat untuk bertempat tinggal di
Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya.
b.
Untuk subjek
pajak badan dalam negeri
Dimulai pada saat badan
tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat
dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
c.
Untuk subjek
pajak luar negeri berupa BUT
Dimulai pada saat oragn
pribadi atau badan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat 5 UU PPh dan berakhir pada saat tidak lagi
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT.
d.
Untuk subjek
pajak luar negeri non BUT
Dimulai pada saat orang
pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.
Kewajiban
Pajak Subjektif dan PTKP
Untuk menghitung PPh pasal 21 yang terutang dalam
satu bulan terlebih dahulu kita harus mencari jumlah penghasilan netto setahun
atau disetahunkan. Hal itu perlu dilakukan karena PTKP khususnya untuk
penghitungan PPh pasal 21 terutang pegawai tetap tidak mengenal istilah PTKP
per bulan. Artinya, walaupun pegawai tetap yang bersangkutan hanya menerima
penghasilan selama tiga bulan saja dalam setahun maka PTKPnya tetap dihitung
satu tahun. Oleh karena itu penghasilan nettolah yang harus dihitung selama
satehun atau disetahunkan da setelah itu baru dikurangi dengan PTKP setahun
lalu dihitung PPh pasal 21 terutangnya dengan menggunakan tarif pasal 17 UU PPh.
PPh pasal 21 terutang setahun pada akhirnya tetap harus disesuaikan kembali
dengan jumlah bulan sebenarnya untuk memperoleh PPh pasal 21 terutang sebulan.
Pada umumnya kondisi subjektif pegawai tetap dapat
dirinci sebagai berikut:
a. Pegawai tetap WNI/Lokal yang kewajiban pajak
subjektif dan objektifnya sudah ada pada awal tahun.
Pegawai tetap dengan
kondisi ini diasumsikan akan terus berada di Indonesia dan bekerja sampai akhir
tahun meskipupn realisasinya belum tentu demikian. Dengan asumsi tersebut maka
kewajiban pajak seubjektifnya dianggap satu tahun penuh sehingga berhak ata
PTKP sebagai pengurang yang juga setahun penuh.
Pegawai yang termasuk
dalam kategori ini antara lain:
·
Pegawai tetap
yang bekerja satu tahun penuh
·
Pegawai tetap
yang berhenti dalam tahun berjalan
·
Pegawai tetap yang dipindahkan ke kantor pusat
atau cabang lainnya
·
Pegawai tetap
pindahan dari pusat atau cabang lainnya dari pemberi kerja yang sama atau
pindahan dari pemberi kerja/perusahaan yang berbeda yang membawa formulir 1721
A1 dari pemberi kerja/perusahaan yang lama.
b.
Pegawai tetap
WNI/Lokal yang kewajiban pajak subjektif sudah ada pada awal tahun namun
kewajiban pajak objektifnya baru ada setelah awal tahun.
Pegawai tetap dengan kondisi ini diasumsikan akan terus berada di
Indonesia dan bekerja sampai akhir tahun meskipun realisasinya belum tentu
dmikian. Dengan asumsi tersebut maka kewajiban pajakp subjektifnya dianggap
satu tahun penuh sehingga berhak atas PTKP sebagai pengurang yang juga setahun
penuh.
Pegawai yang termasuk dalam kategori ini adalah pegawai tetap yang baru
masuk kerja pada tahun berjalan dan sebelumnya tidak bekerja.
c.
Pegawai tetap
yang kewajiban pajak subjektif dan objektif baru ada setelah awal tahun, atau
kewajiban pajak subjektifnya berakhir sebelum akhir tahun.
Pegawai
tetap dengan kondisi ini kewajiban pajak subjektifnya tidak setahun penuh.
Bagi mereka yang kewajiban pajak subjektifnya tidak
setahun penuh mestinya tidak berhak atas PTKP selama satu tahun. Namun,
mengingat PTKP khususnya untuk perhitungan PPh pasal 21 terutang pegawai tetap
tidak mengenal istilah PTKP per bulan maka perlu dilakukan penyesuaian dalam
penghitungan PPh pasal 21 yang dikenal dengan istilah “Disetahunkan”.
Pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektif dan
objektif baru ada setelah awal tahun adalah pegawai tetap WNA/Ekspatriat yang
baru masuk kerja di tengah tahun. Sedangkan pegawai tetap yang kewajiban pajak
subjektifnya berakhir sebelum akhir tahun adalah pegawai tetap yang meninggal
dunia atau meninggalkan Indonesia selama-lamanya.
SUBJEK
PPH PASAL 21
Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21
diantaranya sebagai berikut:
a.
Pegawai.
b.
Penerima uang
pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua, termasuk ahli warisnya.
c.
Bukan pegawai
yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa
atau kegiatan antara lain:
·
Tenaga ahli
yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris.
·
Pemain musik,
pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang
iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pelukis dan seniman lainnya.
·
Olahragawan.
·
Penasihat,
pengajar, pelatih, pencermah, penyuluh dan moderator.
·
Pengarang,
peneliti dan penerjemah.
·
Pemberi jasa dalam
segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi,
elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa pada suatu
kepanitiaan.
·
Agen iklan.
·
Pengawas atau
pengelola proyek.
·
Pembawa
pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara.
·
Petugas
penjaja barang dagangan.
·
Petugas dinas
luar asuransi.
·
Distributor
perusahaan multilevel marketing atau direct
selling dan kegiatan jenis lainnya.
d.
Peserta
kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi:
·
Peserta
perlombaan dalam segala bidang.
·
Peserta rapat,
konferensi, sidang, pertemuan atau kunjungan kerja.
·
Peserta atau
anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggaran kegiatan tertentu.
·
Peserta
pendidikan, pelatihan, dan magang.
·
Peserta
kegiatan lainnya.
Hak
Penerima Penghasilan
Hak penerima penghasilan adalah menerima bukti
pemotongan PPh pasal 21 dari pemotong.
Kewajiban
Penerima Penghasilan
a.
Mendaftarkan
diri untuk memperoleh NPWP.
b.
Menyerahkan
surat pernyataan kepada pemotong pajak yang menyatakan jumlah tanggungan
keluarga pada permulaan tahun takwin.
c.
Menyerahkan
bukti pemotongan PPh pasal 21 kepada:
·
Pemotong pajak
kantor cabang baru atau tempat kerja baru dalam hal yang bersangkutan
dipindahtugaskan atau pindah kerja.
·
Pemotong dana
pensiun dalam hal yang bersangkutan mulai menerima pensiun dalam tahun
berjalan.
·
Mengisi dan
menyampaikan SPT tahunan.
Penerima
Penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21
1.
Pejabat perwakilan
diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan tempat tinggal bersama
mereka, dengan syarat:
a. Bukan warga negara Indonesia.
b. Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
c. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang
ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan sepanjang bukan warga negara Indonesia
dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan di Indonesia.
OBJEK
PPH PASAL 21
Penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 21
a.
Penghasilan
teratur berupa gaji, upah, uang pensiunan bulanan, honorarium, premi bulanan,
uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri,
tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus,
tunjangan transpor, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan
pendidikan anak, beasiswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja dan
penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.
b.
Penghasilan
tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti,
tunjangan hari raya, tunjangan hari baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan
sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap.
c.
Upah harian,
mingguan, satuan dan upah borongan.
d.
Uang tebusan
pensiun, uang pesangon, uang Tabungan Hari Tua (THT), atau jaminan hari tua
(JHT) dan pembayaran lain sejenis.
e.
Honorarium,
uang saku, hadiah atau penghargaan, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
olehWajib Pajak dalam negeri.
f.
Gaji, gaji
kehormatan, tunjangan lainnya yang terkait gaji, uang pensiun dan tunjangan
lainnnya yang terkait dengan uang pensiun.
g.
Penerimaan
dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan
oleh bukan Wajib Pajak atau wajib pajak yang dikenakan PPh final dan dikenakan
PPh berdasarkan norma perhitungan khusus.
Tidak
termasuk Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
a.
Pembayaran
asuransi dari pembayaran asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
b.
Penerimaan
dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali penerimaan dalam bentuk natura
sebagaimana dimaksud PMK 252 Tahun 2008 pasal 5 ayat 2.
c.
Iuran pensiun
yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada penyelenggara Jamsostek yang
dibayarkan oleh pemberi kerja.
d.
Pemenerimaan
dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nam apapun yang diberikan
oleh Pemerintah.
e.
Pajak yang
ditanggung oleh pemberi kerja.
f.
Zakat yang
diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
Pajak
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 Final
1.
Penghasilan
berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan
hari tua yang dibayarkan sekaligus.
2.
Pejabat
negara, PNS, anggota TNI/POLRI yang menerima honorarium dan imbalan lain yang
sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah.
Penghitungan
Pemotongan PPh Pasal 21 Terhadap Penghasilan Pegawai Tetap
Contoh:
Contoh
1:
Retto
pada tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT Jaya Abadi dengan memperoleh gaji
sebulan Rp3.750.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000,00. Retto
menikah tetapi belum mempunyai anak. Pada bulan Januari penghasilan Retto dari
PT Jaya Abadi hanya dari gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Januari adalah
sebagai berikut:
Jawab:
Gaji Rp
3.750.000,00
Pengurangan:
1.
Biaya Jabatan:
5%
X Rp 3.750.000,00 Rp
187.500,00
2.
Iuran pensiun: Rp
100.000,00(+)
Rp 287.500,00(-)
Penghasilan neto sebulan Rp
3.462.500,00
Penghasilan
neto setahun adalah
12 X Rp3.462.500,00 Rp
41.550.000,00
PTKP
(K/0)
-
untuk WP sendiri Rp
36.000.000,00
-
tambahan karena kawin Rp
3.000.000,00 (+)
Rp
39.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp
2.550.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5%
X Rp2.550.000,00 = Rp 127.500,00
PPh
Pasal 21 bulan Januari
Rp
127.500,00 : 12 = Rp 10.625,00
Catatan:
a.
Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan
yang
dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai Pegawai
Tetap
tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
b.
Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP.
Dalam
hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal
21
yang harus dipotong pada bulan Januari adalah sebesar: 120% x Rp 10.625,00=
Rp12.750,00.
Contoh
2:
Retto
sebagaimana tersebut dalam contoh nomor I.1.1. di atas pada bulan Juni 2016
menerima kenaikan gaji, menjadi Rp 4.750.000,00 sebulan dan berlaku surut sejak
1 Januari 2016. Dengan adanya kenaikan gaji yang berlaku surut tersebut maka
Retto menerima rapel sejumlah Rp5.000.000,00 (selisih gaji yang seharusnya
diterima untuk masa Januari s.d. Mei 2016). Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas
uang rapel tersebut, terlebih dahulu dihitung kembali PPh Pasal 21 untuk masa
Januari s.d. Mei 2016 atas dasar penghasilan setelah ada kenaikan gaji. Dengan
demikian penghitungan PPh Pasal 21 terutangnya adalah sebagai berikut:
Jawab:
Gaji Rp
4.750.000,00
Pengurangan:
1.
Biaya Jabatan:
5%
X Rp4.750.000,00 Rp
237.500,00
2.
Iuran pensiun: Rp
100.000,00(+)
Rp
337.500,00(-)
Penghasilan neto sebulan Rp
4.412.500,00
Penghasilan
neto setahun adalah
12 X Rp 4.412.500,00 Rp
52.950.000,00
PTKP
(K/0)
-
untuk WP sendiri Rp36.000.000,00
-
tambahan karena kawin Rp
3.000.000,00(+)
Rp
39.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp
13.950.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5%
X Rp 13.950.000,00 = Rp 697.500,00
PPh
Pasal 21 sebulan
Rp697.500,00
: 12 = Rp 58.125,00
PPh
Pasal 21 Januari s.d Mei 2016 seharusnya adalah:
5
X Rp58.125,00 = Rp 290.625,00
PPh
Pasal 21 yang sudah dipotong Januari s.d. Mei 2016
(dari
perhitungan contoh 1)
5
X Rp 10.625,00 = Rp 53.125,00
PPh
Pasal 21 untuk uang rapel Rp 290.625,00 - Rp 53.125,00 = Rp 237.500,00
Contoh
3:
Bambang
Eko pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh
gaji sebulan Rp6.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program BPJS
Ketenagakerjaan, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian
dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari
gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar
3,70% dari gaji sedangkan Bambang Eko membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar
2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti
program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk
Bambang Eko kepada dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan, setiap bulan sebesar Rp 100.000,00, sedangkan Bambang Eko membayar
iuran pensiun sebesar Rp 100.000,00. Pada bulan Juli 2016 Bambang Eko hanya
menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2016
adalah sebagai berikut:
Jawab:
Gaji Rp
6.000.000,00
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja Rp
30.000,00
Premi Jaminan Kematian Rp 18,000,00(+)
Penghasilan Bruto Rp
6.048.000,00
Pengurangan:
1.
Biaya Jabatan:
5%
X Rp6.048.000,00 Rp
302.400,00
2.
Iuran Pensiun Rp
100.000,00
3.
Iuran Jaminan Hari Tua Rp
120.000,00()
Rp 522.400,00(-)
Penghasilan neto sebulan Rp
5.525.600,00
Penghasilan
neto setahun adalah
12 x Rp 5.525.600,00 Rp
66.307.200,00
PTKP
(K/0)
-
untuk WP Sendiri Rp
36.000.000,00
-
tambahan karena kawin Rp 3.000.000,00(+)
Rp39.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp27.307.200,00
Pembulatan Rp27.307.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5%
x Rp 27.307.000,00 = Rp 1.365.350,00
PPh
Pasal 21 bulan Juli
Rp
1.365.350,00 : 12 = Rp 113.780,00
Contoh
4:
Muhammad
Shodiq, pegawai pada perusahaan PT Segara Hurip, memperoleh gaji mingguan
sebesar Rp 1.000.000,00. Muhammad Shodiq telah menikah dan mempunyai seorang
anak. PT Segara Hurip masuk program BPJS Ketenegakerjaan, premi Jaminan
Kecelakaan Kerja, dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan
jumlah masing-masing setiap bulan sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji. PT Segara
Hurip membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji
sedangkan Muhammad Shodiq membayar iuran pensiun sebesar Rp20.000,00 dan
Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji. Dalam minggu kedua pada bulan Agustus
2016. Muhammad Shodiq hanya memperoleh pembayaran berupa gaji saja. Hitunglah
PPh Pasal 21 untuk minggu kedua bulan Agustus!
Jawab:
Penghasilan
sebulan
4 X Rp 1.000.000,00 Rp
4.000.000,00
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja Rp
40.000,00
Premi Jaminan Kematian Rp
12.000,00(+)
Penghasilan bruto Rp
4.052.000,00
Pengurangan:
1.
Biaya Jabatan sebulan:
5%
X Rp4.052.000,00 Rp202.600,00
2.
Iuran pensiun: Rp
20.000,00
3.
Iuran Jaminan Hari Tua: Rp
80.000,00(+)
Rp
302.600,00(-)
Penghasilan neto sebulan Rp
3.749.400,00
Penghasilan
neto setahun adalah
12 X Rp 3.749.400,00 Rp
44.992.800,00
PTKP
(K/1)
-
untuk WP sendiri Rp36.000.000,00
-
tambahan karena kawin Rp
3.000.000,00
-
tambahan 1 orang anak Rp
3.000.000,00(+)
Rp
42.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp
2.992.800,00
Pembulatan Rp
2.992.000,00
PPh
Pasal 21 setahun
5%
x Rp 2.992.000,00 = Rp 149.600,00
PPh
Pasal 21 sebulan
Rp
149.600,00 : 12 = Rp 12.467,00
PPh
Pasa 21 minggu kedua
Rp
12.467,00 : 4 = Rp 3.117,00
Contoh
5:
Karyawati
Shanaya Aqeela (belum kawin) bekerja pada PT Prabu Kedaton dengan memperoleh gaji
sebesar Rp3.500.000,00 sebulan. Perusahaan ikut dalam program BPJS
Ketenagakerjaan. Premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dan
iuran Jaminan Hari Tua dibayar oleh pemberi kerja setiap bulan masing-masing
sebesar 1,00%, 0,30% dan 3,70% dari gaji. Shanaya Aqeela membayar iuran pensiun
Rp50.000,00 dan iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji untuk setiap
bulan. Pada bulan April 2016, Shanaya Aqeela memperoleh bonus sebesar
Rp4.000.000,00 sehingga pada bulan April 2016 Shanaya Aqeela menerima
pembayaran berupa gaji sebesar sebesar Rp3.500.000,00 dan bonus sebesar Rp4.000.000,00.
Cara
menghitung PPh Pasal 21 atas bonus adalah sebagai berikut:
a.
PPh Pasal 21 atas Gaji dan Bonus
(penghasilan setahun)
Gaji
setahun
12 X Rp3.500.000,00 Rp
42.000.000,00
Bonus Rp
4.000.000,00
Premi Jaminan
Kecelakaan Kerja
12 X Rp35.000,00 Rp
420.000,00
Premi
Jaminan Kematian
12 X Rp10.500,00 Rp
126.000,00(+)
Penghasilan bruto setahun Rp
46.546.000,00
Pengurangan:
1.
Biaya Jabatan:
5%
X Rp46.546.000,00 Rp
2.327.300,00
2.
Iuran pensiun:
12
X Rp50.000,00 Rp
600.000,00
3.
Iuran Jaminan Hari Tua:
12
X Rp70.000,00 Rp
840.000,00(+)
Rp
3.767.300,00(-)
Penghasilan neto setahun Rp
42.778.700,00
PTKP
(TK/0)
- untuk WP sendiri Rp
36.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp
6.778.700,00
Pembulatan Rp
6.778.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5% X Rp6.778.000,00 = Rp
338.900,00
b.
PPh Pasal 21 atas Gaji setahun
Gaji
setahun
12 X Rp 3.500.000,00 Rp
42.000.000,00
Premi
Jaminan Kecelakaan Kerja
12 X Rp 35.000,00 Rp 420.000,00
Premi
Jaminan Kematian
12 X Rp 10.500,00 Rp 126.000,00(+)
Penghasilan bruto setahun Rp
42.546.000,00
Pengurangan:
1.
Biaya Jabatan:
5%
X Rp46.546.000,00 Rp
2.127.300,00
2.
Iuran pensiun:
12
X Rp50.000,00 Rp
600.000,00
3.
Iuran Jaminan Hari Tua:
12
X Rp70.000,00 Rp
840.000,00(+)
Rp
3.567.300,00(-)
Penghasilan neto setahun Rp
38.978.700,00
PTKP
(TK/0)
- untuk WP sendiri Rp
36.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp
2.978.700,00
Pembulatan Rp
2.978.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5%
X Rp2.978.000,00 = Rp 148.900,00
c.
PPh Pasal 21 atas Bonus
PPh
Pasal 21 atas Bonus adalah:
Rp 338.900,00 - Rp
148.900,00 = Rp 190.000,00
Penghitungan
Pemotongan Pph Pasal 21 Terhadap Penghasilan Pegawai Tidak Tetap
Contoh
1:
Harian
adalah pegawai PT Cipta Mandiri Sejahtera, la bekerja selama 10 hari dan
menerima upah harian sebesar Rp300.000,00. Hitunglah PPh pasal 21!
Jawab:
Penghitungan
PPh Pasal 21:
Upah sehari Rp
300.000,00
Dikurangi:
Batas upah harian tidak dilakukan pemotongan PPh Rp 300.000,00(-)
Rp
0,00
PPh
Pasal 21 dipotong atas Upah sehari Rp 0,00
Sampai
dengan hari ke-10, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi
Rp3.000.000,00
maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.
Pada
hari ke-11 jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp3.000.000,00, maka
PPh
Pasal
21 terutang dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya.
Upah s.d hari ke-11 (Rp300.000,00 X 11) Rp
3.300.000,00
PTKP
Sebenarnya:
11 X (Rp36.000.000,00 / 360) Rp
1.100.000,00(-)
Rp
2.200.000,00
PPh
Pasal 21 terutang s.d. hari ke-11
5%
X Rp2.200.000,00 = Rp 110.000,00
PPh
Pasal 21 yang telah dipotong s.d. hari ke-10 Rp 0,00
PPh
Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-11 Rp 110.000,00
Sehingga
pada hari ke-11, upah bersih yang diterima Nurcahyo sebesar:
Rp
300.000,00 - Rp 110.000,00 = Rp 190.000,00
Misalkan
Nurcahyo bekerja selama 12 hari, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang harus
dipotong
pada hari ke - 12 adalah sebagai berikut :
Upah sehari Rp
300.000,00
PTKP sehari:
- untuk WP sendiri (Rp36.000.000,00 / 360) Rp
100.000,00(-)
Rp
200.000,00
PPh
Pasal 21 terutang s.d. hari ke-12
5%
X Rp200.000,00 = Rp 10.000,00
Sehingga
pada hari ke-12, Nurcahyo menerima upah bersih sebesar:
Rp
300.000,00 - Rp 10.000,00 = Rp 290.000,00
Referensi:
Widyaningsing,
Aristanti. 2011. Hukum Pajak dan
Perpajakan dengan Pendekatan Mind Map. Bandung: ALFABETA CV.
Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Republik
Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-32/Pj/2015 tentang Pedoman
Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal
21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan
Orang Pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar